Aku adalah ranting dari pohon yang tak pernah ditanya kabar,
yang terus tumbuh meski tanahnya luka, meski langitnya tak ramah.
Angin mengabarkan musim,
tapi tak satu pun singgah membawa peluk yang benar-benar tinggal.
Ada luka yang tak bisa ditulis dengan tinta,
karena ia membatu di antara tulang dan asa.
Aku menulisnya lewat diam,
lewat tatap yang retak,
lewat senyum yang menyamar jadi cahaya padahal duka.
Mereka bilang aku rumit,
padahal aku hanya terlalu penuh oleh kata yang tak pernah sempat lahir.
Mereka bilang aku dingin,
padahal aku sudah lama kehabisan hangat yang bisa kuberi.
Kekecewaan tak lagi menampar –
ia duduk, tenang, di meja sarapan,
meminum harapku seperti kopi pagi,
pahit tapi tetap kuteguk.
Barangkali aku tak ditakdirkan dipahami,
hanya dilintasi seperti puisi di koran pagi yang dibaca setengah hati,
dilupakan sebelum senja datang lagi.
Tapi tak apa,
di dalam tubuhku,
aku tahu ada semesta kecil yang terus bergetar,
meski langitnya tak pernah benar-benar cerah.