Kepadamu,
yang datang dan tahu bagaimana caranya meneduhkan
tanpa merendahkan.
Sayang,
kau bukan mantra pemanggil bahagia,
tapi tubuhmu adalah altar
di mana jiwaku akhirnya berhenti menggigil.
Dunia pernah mencarikanku luka yang tak dinamai,
lalu kau hadir –
bukan untuk menambal,
tapi untuk duduk diam di samping retaknya.
Kau mencintaiku tanpa seragam perang,
tanpa bendera yang dikibarkan tinggi,
kau hanya diam dan menetap.
Dan dari situ aku tahu,
keberanian bukan selalu tentang menaklukkan,
kadang ia adalah memilih tetap tinggal
saat badai menampar tanpa aba-aba.
Terima kasih,
karena tak memintaku menjadi cahaya
saat aku hanya sanggup menjadi bara.
Karena tidak gentar
mencintai perempuan yang sesekali patah
di dalam senyumnya sendiri.
Kau tidak memahat aku menjadi versi yang kau inginkan,
kau biarkan aku retak, keras kepala,
dan tetap kau peluk –
seolah aku satu-satunya puisi
yang ingin terus kau baca,
meski baitnya kadang tak beraturan.
Dan cinta ini bukan soal api yang membakar langit,
tapi bara kecil yang tak padam,
yang kujaga dalam rongga dadaku,
dengan tenang,
dengan sisa-sisa iman yang tak lagi butuh sorak-sorai.