Aku lahir dari senyap yang tak diminta,
dari luka-luka yang diwariskan tanpa suara.
Kutukanku bukan sihir atau mantra,
tapi cara dunia memaksaku untuk kuat… terlalu lama.
Aku berjalan di antara reruntuhan harapan,
mengumpulkan pecahan mimpi dengan tangan berdarah.
Orang bilang aku keras kepala,
padahal aku cuma takut roboh di hadapan mereka.
Aku mencintai, tapi selalu diuji.
Aku memberi, tapi sering dianggap kurang berarti.
Dan mereka yang harusnya memelukku,
malah menuding jari,
menjadikan aku kambing hitam dari cerita yang tak pernah kutulis.
Kutukanku…
adalah tidak pernah cukup
bagi cinta, bagi maaf, bagi bahagia yang sederhana.
Tapi lihat, aku masih di sini.
Dengan mata sembab dan napas pendek,
tapi tetap menggenggam tangan anak-anakku.
Mereka adalah mantra penyembuhku,
di tengah kutukan yang kusebut: aku.